Rabu, 11 Februari 2009

Penerapan Dinar dan Dirham Solusi dalam Sistem Moneter di Indonesia Tinjauan Perspektif Islam


Hendro Wibowo

Penggunaan Dinar Dalam Daulah Islam
Dinar dan dirham sebuah alat pembayaran yang sebenarnya telah lama dikenal sejak zaman Romawi dan Persia, kedua negara tersebut merupakan dua negara adidaya yang cukup besar pada masa itu. Dinar terbuat dari emas dan dirham terbuat dari perak.
Dinar (emas) dalam sejarah dunia pertama kali diperkenalkan melalui Romawi kuno pada tahun 211 SM. Karena dinar adalah mata uang yang dipergunakan sebagai alat tukar

pembayaran transaksi ekonomi pada masa itu dan juga nilainya stabil yang disebabkan adanya kadar emas dalam mata uang tersebut.
Pada masa rasulullah saw, beliau membuat suatu kebijakan terhadap perekonomian. Dalam hal transaksi beliau menetapkan alat pembayaran yang digunakan kaum muslimin pada saat itu berupa dinar dan dirham. Dalam hal Rasulullah menetapkan suatu kebijakan pada praktik muamalah tidak secara mutlak dan resmi, pada saati itu juga tidak semua kaum muslimin memakai kedua mata uang tersebut, ada juga yang memakai system barter dikarenakan pada zaman itu rasulullah masih terfokus pada system dakwah dengan tujuan menyusun kekuatan dan menambah jumlah umat muslin. Penggunaan kedua mata uang ini berlanjut tanpa ada perubahan sedikitpun hingga tahun 18 H ketika khalifah Umar bin Khattab menambahkan lafadz-lafadz islam pada kedua mata uang tersebut.
Perubahan yang sangat signifikan terhadap mata uang ini terjadi pada tahun 76 H. Setelah berhasil menciptakan stabilitas politik dan keamanan, khalifah Abdul Malik bin Marwan melakukan reformasi moneter dengan mencetak dinar dan dirham. Penggunaan kedua mata uang ini terus berlanjut, tanpa perubahan yang berarti, hingga pemerintahan Al-Mu'tashim, khalifah terakhir dinasti Abbasiyah.
Dalam pandangan Al-Maqrizi (766-845 H), kekacauan mulai terlihat ketika ada pengaruh kaum mamluk semakin kuat dikalangan istana, termasuk terhadap kebijakan pencatakan mata uang dirham campuran (Fulus). Pencetakan fulus, mata uang yang terbuat dari tembaga, dimulai pada masa pemerintahan Dinasti Ayyubiyah, Sultan Muhammad Al-Kamil ibn Al-Adil Al-Ayyubi. Penciptaan uang fulus tersebut dimaksudkan sebagai alat tukar terhadap barang-barang yang tidak signifikan dengan rasio 48 fulus untuk setiap dirhamnya.
Pasca pemerintahan Sultan Al-Kamil, penciptaan mata uang terus berlanjut hingga pejabat tingkat provinsi. Kebijakan sepihak dibuat dengan meningkatkan volume pencetakan fulus dan menetapkan rasio 24 fulus untuk setiap dirhamnya. Akibatnya rakyat mengalami penderitaan karena terjadi inflasi.
Pada masa Dinasti Ottoman yang berkuasa di Turki, dinar dan dirham mengalami masa penurunan dan kemudian namanya hanya menjadi kenangan.



Kondisi Modern
Dalam transaksi modern dan diganti dengan system keuangan yang dikembangkan oleh negara barat dengan menggunakan uang kertas.
Uang kertas pertama kali berkembang dalam masa pertengahan dikawasan eropa yaitu system perbankan berkembang dimasa itu. Awal perkembangannya diawali karena adanya faktor yang sama dalam Daulah islam yaitu keengganan dan ketidaknyamanan dalam membawa emas dan perak dalam jumlah besar. Hal ini mendorong masyarakat untuk menitipkan emas dan perak yang mereka miliki kepada pandai besi, ahli perhiasan, ataupun pandai emas. Kemudian mereka mendaoatkan sertifikat deposito yang kemudian sebagai alat bukti penitipan, dan sertifikat tersebut yang digunakan sebagai alat pembayaran.
Pada tahun 1928 di AS pemerintahan AS mulai nota-nota dan sertifikat emas, dan mulai mengeluarkan uang kertas biasa yang berfungsi sebagai alat transaksi perdagangan biasa dan tidak memiliki nilai tukar dengan logam mulia. Hal ini adalah sebuah rekayasa yang sangat halus dalam menghapuskan dinar dan dirham dalam transaksi yang digunakan sebaga alat pembayaran (alat tukar). Efek samping yang akan dirasakan dalam kegiatan ekonomi adalah nilainya akan berubah dalam setiap kurun waktu yang berbeda karena nilainya akan mengalami penyusutan (terdepresiasi).
Hal inilah yang membuat uang kertas dapat dipergunakan sebagai alat komoditi perdagangan, ini adalah kehancuran nilai mata uang yang dijadikan sebagai sarana spekulasi, dan ini akan menyebabkan nilai mata uang (yang notabene berubah waktu tersebut) atau dikenal dengan time value of money akan jatuh. Jatuhnya nilai mata uang akan menyebabkan kehancuran dan krisis dalam perekonomian suatu negara secara nasional.
Pada tahun 1997 indonesia pernah mengalami dan negara asia lainnya dalam krisis moneter yang melanda. Ungkapan Dr Mahathir Muhammad, PM Malaysia dalam sebuah seminar di Hongkong mengungkapkan "kegiatan perdagangan dan spekulasi mata uang diharamkan karena uang kertas tidak memiliki nilai intrinsik (nilai sebenarnya) yang pasti, seperti katanya "system keuangan dunia yang didasari dengan uang kertas dan cek bukanlah islami". System yang ada pada saat ini yang telah mengusai dunia hingga negara lain mau tidak mau terpaksa menggunakannya".
Seperti mata uang Dollar AS terdapat ketidakseimbangan nilai, dimana nilai intrinsic (nilai sebenarnya) dari uang kertas jauh lebih rendah dibandingkan nilai nominalnya (nilai yang tertera dalam mata uang), misal : US Dollar dalam biaya pembuatannya, biaya produksi dari selembar mata uang AS tersebut adalah 4,2 seri mata uang AS. Dengan begitu, bila diberikan nilai nominal yang tertera adalah satu dollar AS, maka nilainya adalah 24 kali lipat lebih besar daripada nilai itu sendiri.
Hal itulah muncul ide-ide untuk mepopulerkan kembali penggunaan mata uang dinar (emas) dan dirham (perak) sebagai alat pembayaran dalam kegiatan transaksi ekonomi dikarenakan adanya kegunaan-kegunaan yang dapat dilihat daripada dinar dan dirham itu, yaitu:
1. dalam rangka menegakkan rukun islam untuk pembayarn zakat dan menegakkan sunnah rasul
2. dapat berfungsi sebagai hal jual beli
3. dapat dipergunakan untuk disimpan dan nilainya tidak akan mengalami penurunan
4. dapat dipergunakan sebagai mas kawin
5. untuk menegakkan kedaulatan umat



Perkembangan Penerapan dinar dan dirham di Indonesia
Rencana tekhnis dalam penerapan penggunaan dinar dan dirham dalam perekonomian di Indonesia tampaknya akan segera terwujud secara nyata dengan adanya cetak biru (blue print) tentang pemakaian dinar dan dirham yang akan segera dipersiapkan oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dalam konferensi dijakarta tahun 2003. menurut sugiharto (Ketua Departemen Ekonomi ICMI) penyusunan blue print ini sudah disepakati oleh 10 institusi yang telah menaruh perhatian besar terhadap perkembangan system ekonomi islam, terutama terhadap pemakaian mata uang dinar dan dirham. Lembaga-lembaga tersebut antara lain : ICMI, MUI, Yayasan Dinar-Dirham, PNM, Wakala Adina, MES, Asbisindo, dan FOZ.
Tujuan pembuatan cetak biru ini adalah untuk menciptakan keseragaman dalam penerapan mata uang berupa dinar dan drihamdi Indonesia. Untuk memperkenalkan mata uang ini diperlukan sejumlah lembaga pengendali, seperti lembaga sertifikasi yang akan menilai pihak yang berhak mencetak dinar dan dirham agar tidak mudah dipalsukan. Dalam cetak biru itu akan diatur system distribusi dinar dan dirham yang disebut dengan wakala. Wakala berfungsi sebagai tempat penukaran mata uang (money changer).



Model Transaksi Dinar dan Dirham
Tidak saja secara teoritis, dalam implementasinya mata uang Dinar dan Dirham telah terbukti lebih stabil dibandingkan dengan fiat money yang digunakan dunia internasional sekarang. Dalam artikelnya "The Islamic Gold Dinar: Socio-economic Perspective", Meera dan Aziz (2002) menjelaskan secara detail kelebihan sistem mata uang Islam (Dinar dan Dirham). Tidak seperti uang hampa, Dinar dan Dirham tidak dapat dicetak ataupun dimusnahkan dengan sekendak-hati pihak berkuasa (pemerintah), karena ia memiliki nilai intrinsik 100%. Ini tentunya akan menghindari terjadinya kelebihan uang dalam masyarakat, atau dengan kata lain akan menghalang terjadinya inflasi. Tidak seperti uang hampa, Dinar dan Dirham juga akan diterima masyarakat dengan hati terbuka tanpa perlu "legal tender" atau penguatan hukum. Kalau masyarakat yang melakukan transaksi dihadapkan pada dua pilihan, untuk dibayar dengan uang hampa atau Dinar, sudah tentu mereka akan lebih memilih Dinar karena kestabilan nilainya. Kestabilan Dinar ini tentunya akan mempromosikan perdagangan internasional. Bertransaksi dengan menggunakan Dinar akan mengurangi biaya transaksi. Bila Dinar digunakan sebagai mata uang tunggal dunia Islam, maka biaya untuk menukar uang dari satu jenis mata uang ke mata uang lainnya dalam dunia Islam tidak diperlukan lagi. Dan yang paling luar biasa adalah penggunaan Dinar akan lebih menjamin kedaulatan negara dari dominasi ekonomi, budaya, politik dan kekuatan asing. Sebagai contoh, dengan hanya mencetak Dolar tanpa perlu di-back up oleh emas dan kemudian dipinjamkan ke Indonesia, Amerika kini dengan mudah mendikte dan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Inilah sebabnya Dinar diyakini mampu mewujudkan sistem moneter global yang berkeadilan (just world monetary system).

Kesimpulan
Mata uang dinar dan dirham telah dipergunakan pada zaman Rasulullah saw dan para sahabat. Pada masa islam mata uang itu digunakan sebagai bagian dari hukum muamalah. Tidak menutup kemungkinan pada zaman modern sekarang penerapan kembali mata uang dinar dan dirham mengingat kembali cadangan emas yang dimiliki negara-negara baik negara timur tengah maupun negara asia lebih khusus negara asia tenggara seperti : Indonesia, Malaysia. Terbukti penerapan menggunakan mata uang dinar dan dirham mulai dilakukan saat ini di Malaysia, hal ini menjadi suatu pemicu bagi negara lain yang memiliki cadangan emas yang lebih banyak dibandingkan negara Malaysia, mengingat Indonesia yang mempunyai masyarakat mayoritas muslim dan mempunyai cadangan emas yang cukup banyak menjadi nilai plus untuk menerapkan secepatnya system mata uang dinar dan dirham.

Allah hu 'alam bis shawab
Baca Selanjutnya »»

Dinamika Koperasi syariah di Indonesia

Pada tanggal 12 Juli 2007 lalu, gerakan koperasi di Indonesia genap berusia 60 tahun, terhitung sejak Kongres Koperasi I pada 12 Juli 1947. Sebuah usia yang matang untuk menjadi kuat, mandiri, dan bijaksana.

Namun, realitas memperlihatkan perkembangan koperasi hingga kini masih memprihatinkan.Dari 140 ribu koperasi yang ada di Indonesia, hanya 28,5% yang aktif, dan lebih sedikit lagi koperasi yang memiliki manajemen kelembagaan yang baik, partisipasi anggota yang optimal,usaha yang fokus,terlebih lagi skala usaha yang besar.
Sebagai pilar terpenting ekonomi bangsa yang diharapkan menjadi sokoguru perekonomian, secara ironis koperasi justru jauh tertinggal dari badan usaha swasta dan perusahaan negara. Peran penting koperasi dalam mendorong pemberdayaan, pemerataan, dan demokrasi ekonomi ini telah dibuktikan di berbagai negara di seluruh dunia.

Koperasi berkembang dan menjadi salah satu kekuatan penting dalam perekonomian nasional di banyak negara. Bahkan, di negara-negara yang selama ini kita kenal sangat liberal dan kapitalis, koperasi tumbuh subur dan berkembang pesat.Tak heran bila Konvensi PBB 2001 menetapkan koperasi sebagai wadah ekonomi kerakyatan yang perlu didorong karena terbukti efektif dalam mengentaskan kemiskinan, menciptakan lapangan kerja secara substantif, dan memperkokoh integrasi sosial.

Dari pemahaman terhadap konsep dasar koperasi inilah kita dapat secara cepat memahami mengapa pengembangan koperasi di Indonesia mengalami kegagalan. Selama ini, koperasi lebih banyak dijadikan alat kebijakan pemerintah, bukan sebagai alat ”menolong diri sendiri”. Koperasi menjadi lembaga top down mulai dari inisiatif pendirian sampai pengelolaan sangat bergantung pada aparat pemerintah. Dengan intervensi yang kuat dari pemerintah, terutama di sisi permodalan, koperasi juga kemudian menjadi bersifat capital centered, bukan lagi people centered.

Lebih celaka lagi,banyak koperasi yang kemudian menjadi sangat bergantung pada permodalan dan bantuan dari pemerintah dan segera hilang aktivitasnya ketika bantuan terhenti. Koperasi telah kehilangan jati dirinya yang bottom up, self help, dan self empowering. Dalam kekalutan dunia perkoperasian inilah, kini muncul koperasi syariah di Indonesia. Sejak kemunculan pertamanya pada akhir dekade 1990-an,koperasi syariah mengalami pertumbuhan yang signifikan dan telah memberi kontribusi nyata pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Kini terdapat lebih dari 3.000 koperasi syariah di Indonesia yang dalam waktu relatif singkat telah mampu membantu lebih dari 920.000 usaha mikro di Tanah Air dan telah merambah ke seluruh kabupaten di Tanah Air baik dalam bentuk koperasi pondok pesantren (kopontren),koperasi masjid, koperasi perkantoran, hingga koperasi pasar (kopas). Secara konseptual, koperasi sendiri pada hakikatnya sangat selaras dengan budaya dan nilai-nilai Islam, agama mayoritas di negeri ini.

Tidak heran bila kemudian koperasi yang beroperasi berdasarkan syariat Islam, dengan mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Dalam perspektif Islam, koperasi yang menjunjung asas kebersamaan dan kekeluargaan dapat dipandang sebagai bentuk syirkah ta’awunniyah yang bermakna bekerja sama dan tolong-menolong dalam kebaikan.Ketika koperasi bekerja dalam bingkai syariah Islam, seperti tidak berhubungan dengan aktivitas riba, maysir (judi), dan gharar (spekulan), maka lengkaplah keselarasan koperasi dengan nilai-nilai Islam.

Dengan kinerja yang sangat mengesankan inilah, maka sudah selayaknya pemerintah dan semua pihak mendorong kemajuan koperasi syariah. Koperasi syariah yang tumbuh dari bawah, mandiri, dan memberdayakan, secara nyata telah memberi manfaat besar bagi masyarakat negeri ini. Sudah saatnya arah dan fokus kebijakan pembangunan dialihkan dari usaha besar ke usaha kecil: bahwa perekonomian seharusnya berbasis pada masyarakat luas, bukan pada segelintir pengusaha besar yang rapuh.

Bila dikaitkan dengan usaha pemulihan ekonomi nasional saat ini,peranan koperasi syariah sangat potensial bila telah mewujud dalam skala yang luas. Salah satu masalah terbesar dalam pemulihan ekonomi yang hingga kini belum terselesaikan adalah krisis disintermediasi finansial. Perbankan nasional yang memegang peran penting ini gagal menjalankan tugasnya.Likuiditas nasional yang berada di sektor ini, banyak yang tidak tersalurkan ke sektor riil.

Dengan alasan tingginya risiko usaha, banyak perusahaan yang tidak mendapat aliran kredit perbankan, terlebih lagi usaha mikro dan kecil yang memang sejak lama sulit mendapat akses ke perbankan. Ironisnya lagi, likuiditas nasional yang menganggur ini ditanam kembali oleh perbankan ke Sertifikat Bank Indonesia(SBI) yang membuat beban operasi moneter yang ditanggung oleh bank sentral menjadi sangat besar sehingga justru memberi tekanan pada inflasi.

Per April 2007, kelebihan likuiditas perbankan yang ditanam di SBI mencapai Rp202,5 triliun. Di sinilah kemudian koperasi syariah sebagai lembaga pembiayaan mikro memperlihatkan ketangguhannya. Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) dan Unit Jasa Keuangan Syariah (UJKS) mampu menjalankan fungsi intermediasi finansial secara baik dan efisien ke usaha mikro dan kecil serta berada di lokasi-lokasi yang selama ini sulit dijangkau oleh perbankan.

Dengan demikian, mendorong kemajuan koperasi syariah sama artinya dengan mendorong kemajuan 39,7 juta usaha kecil yang menyerap 88% tenaga kerja yang membutuhkan pembiayaan mikro. Karena itu, penumbuhan koperasi syariah merupakan upaya strategis untuk penciptaan lapangan kerja dan mengentaskan kemiskinan yang pada gilirannya akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berbasis luas (pro poor growth).

Pengembangan koperasi syariah sebagai lembaga microfinance juga menjadi sangat relevan bila melihat kondisi nyata bahwa hingga kini masih terdapat kurang lebih 10 juta usaha kecil dan mikro yang belum tersentuh jasa layanan finansial. Data historis memperlihatkan bahwa perkembangan usaha kecil dan mikro berjalan beriringan dengan pertumbuhan lembaga keuangan mikro.

Penumbuhan koperasi syariah juga penting dalam rangka meningkatkan modal sosial masyarakat karena koperasi syariah tidak hanya sekadar menjalankan fungsi intermediasi finansial, melainkan juga intermediasi sosial. Koperasi tidak hanya sekadar lembaga ekonomi, namun juga lembaga pendidikan demokrasi sehingga koperasi akan mampu membangun mutual trust yang merupakan kunci bagi sebuah bangsa untuk membangun organisasi skala besar yang kuat. Dengan terbentuknya high trust society, maka agenda-agenda transformasi ekonomi dan sosial bangsa akan berjalan lebih baik.
Baca Selanjutnya »»

Pertumbuhan KJKS

KabarIndonesia - Koperasi syariah ternyata telah memberikan dampak yang cukup positif terhadap pelaku usaha mikro di tanah air.

Dalam waktu yang singkat koperasi syariah telah membantu lebih dari 920 ribu usaha mikro di tanah air dan telah merambah ke seluruh kabupaten di Indonesia.
Jenisnya sangat beragam dari koperasi pondok pesantren (kopontren), koperasi masjid, koperasi perkantoran hingga koperasi pasar (kopas).

Sistim bagi hasil yang dikenalkan masyarakat ternyata cukup mudah diterima dan sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang mengedepankan asas gotong royong dan kejujuran.

Terdapat lebih dari 3020 koperasi syariah yang berkembang dengan berbagai macam ragam kondisi kelembagaannya.

Dunia perbankan saat ini tengah mengalami kelebihan likuiditas dan tersimpan dalam SBI per April 2007 sebesar 202,5 trilyun (Sumber BI), suatu fakta bahwa telah terjadi penurunan fungsi intermediasi perbankan, yaitu fungsi untuk menyalurkan dana yang diterima dari masyarakat (nasabah penabung/penyimpan) kepada dunia usaha atau sektor riil.

Disisi lainnya kesulitan mengakses perbankan dihadapi oleh usaha mikro, dikarenakan standar kelayakan perbankan yang sulit dipenuhi oleh pelaku usaha mikro.

Kondisi ini diatasi dengan keberadaan Koperasi Syariah yang terbiasa dengan usaha yang skala dan transaksi kecil (mikro) serta berada di lokasi-lokasi yang selama ini sulit tersentuh sepenuhnya oleh jaringan perbankan.

Kenyataannya jumlah koperasi syariah masih sangat sedikit dibandingkan dengan kebutuhan pembiayaan usaha mikro yang mencapai 39,72 juta usaha dan menyerap 88% tenaga kerja.

Karena itu penumbuhan koperasi syariah merupakan upaya strategis untuk mendongkrak tingkat pertumbuhan ekonomi dan mengentaskan kemiskinan.

Penumbuhan koperasi syariah juga penting dalam rangka meningkatkan keluarga prasejahtera, sehingga bukan sekedar intermediasi financial, melainkan juga intermediasi social.

Menurut data BPS, terdapat lebih dari 10 juta usaha kecil dan mikro yang belum tersentuh jasa layanan perbankan. Kondisi ini menjadi perluang bagi tumbuh dan berkembangnya koperasi syariah bagi rakyat Indonesia yang mayoritas muslim.

Apalagi dari data pertumbuhan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) ternyata perkembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya LKM.

Kelahiran Koperasi Syariah di Indonesia dilandasi oleh Kepututsan Menteri (Kepmen) Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tanggal 10 September 2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah .

Kepmen ini memafasilitas berdirinya koperasi syariah menjadi koperasi jasa keuangan syariah (KJKS) atau unit jasa keuangan syariah (UJKS), dengan adanya sistim ini membantu koperasi serba usaha di Indonesia memiliki unit jasa keuangan syariah.

Dengan demikian dalam rangka mengakselerasi pertumbuhan dan perkembangan Koperasi Syariah di Indonesia mutlak diperlukan adanya Undang-Undang Koperasi Syariah tersendiri yang mampu mengakomodir percepatan dari Koperasi Syariah itu sendiri.
Baca Selanjutnya »»

Koperasi Dalam Islam

Koperasi adalah lembaga usaha yang dinilai cocok untuk memberdayakan rakyat kecil. Nilai-nilai koperasi juga mulia seperti keadilan, kebersamaan, kekeluargaan, dan kesejehateraan bersama. Bagaimana syariah melihat lembaga ini?
Dalam Islam, koperasi tergolong sebagai syirkah/syarikah. Lembaga ini adalah wadah kemitraan, kerjasama, kekeluargaan, dan kebersamaan usaha yang sehat, baik, dan halal. Dan, lembaga yang seperti itu sangat dipuji Islam seperti dalam firman Allah, “Dan bekerjasamalah dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah saling bekerjasama dalam dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 2). Lihat juga surat An-Nisa’: 12 dan Shaad: 24.
Bahkan, Nabi saw. tidak sekadar membolehkan, juga memberi motivasi dengan sabdanya dalam hadits Qudsi, “Aku (Allah) merupakan pihak ketiga yang menyertai (untuk menolong dan memberkati) kemitraan antara dua pihak, selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak lainnya. Jika salah satu pihak telah melakukan pengkhianatan terhadap mitranya, maka Aku keluar dari kemitraan tersebut.” (Abu Daud dan Hakim). Beliau juga bersabda, “Allah akan mengabulkan doa bagi dua orang yang bermitra selama di antara mereka tidak saling mengkhianati.” (Al-Bukhari)

Maka tak heran jika jejak koperasi berdasarkan prinsip syariah telah ada sejak abad III Hijriyah di Timur tengah dan Asia Tengah. Bahkan, secara teoritis telah dikemukakan oleh filosuf Islam Al-Farabi. As-Syarakhsi dalam Al-Mabsuth, sebagaimana dinukil oleh M. Nejatullah Siddiqi dalam Patnership and Profit Sharing in Islamic Law, ia meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah ikut dalam suatu kemitraan usaha semacam koperasi, di antaranya dengan Sai bin Syarik di Madinah.

Kini, koperasi sebagai organisasi ekonomi berbasis orang atau keanggotaan (membership based association), menjadi substantive power perekonomian negara-negara maju. Misalnya Denmark, AS, Singapura, Korea, Jepang, Taiwan, dan Swedia. Meskipun, awalnya hanya countervailing power (kekuatan pengimbang) kapitalisme swasta di bidang ekonomi yang didominasi oleh perusahaan berdasarkan modal persahaman (equity based association), yang sering jadi sapi perah pemilik modal (share holders) dengan sistem dan mekanisme targeting yang memeras pengelola.

Spirit membership based association teraktualisasikan dalam ‘tujuh kebaikan’. Buku-buku modern menyebutnya sebagai social capital (modal sosial). Di Indonesia semangat ekonomi kerakyatan berbasis modal sosial mulai menggejala di era Hindia Belanda di abad ke-19, tepatnya sejak diberlakukan UU Agraria 1870 yang menghapuskan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel). UU itu mendorong munculnya kepemilikan lokal (local ownership) dan inisiatif rakyat setempat yang mendapatkan porsi ekonomi yang signifikan.

Bung Hatta dalam buku Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun mengkategorikan social capital ke dalam 7 nilai sebagai spirit koperasi. Pertama, kebenaran untuk menggerakkan kepercayaan (trust). Kedua, keadilan dalam usaha bersama. Ketiga, kebaikan dan kejujuran mencapai perbaikan. Keempat, tanggung jawab dalam individualitas dan solidaritas. Kelima, paham yang sehat, cerdas, dan tegas. Keenam, kemauan menolong diri sendiri serta menggerakkan keswasembadaan dan otoaktiva. Ketujuh, kesetiaan dalam kekeluargaan.

Formula nilai yang dikemukkan Hatta ini parallel dengan apa yang diungkapkan oleh Kagawa, bapak koperasi Jepang dalam buku Brotherhood Economics, bahwa koperasi merupakan kemitraan ekonomi yang memacu kesejahteraan sosial bersama dan penghindaran dari isapan kekuatan-kekeuatan yang meraih kedudukan istimewa dalam ekonomi.

Implementasi ketujuh nilai yang menjiwai kepribadian koperasi versi Hatta, dituangkan dalam tujuh prinsip operasional koperasi secara internal dan eksternal. Ketujuh prinsip operasional itu adalah; Pertama, keanggotaan sukarela dan terbuka. Kedua, pengendalian oleh anggota secara demokratis. Ketiga, partisipasi ekonomis anggota. Keempat, otonomi dan kebebasan. Kelima, pendidikan, pelatihan dan informasi. Keenam, kerjasama antar koperasi. Ketujuh, kepedulian terhadap komunitas.

Di Indonesia, koperasi berbasis nilai Islam lahirlah pertama kali dalam bentuk paguyuban usaha bernama Syarikat Dagang Islam (SDI). DSI didirikan H. Samanhudi di Solo, Jawa Tengah. Anggotanya para pedagang muslim. Mayoritas pedagang batik. Meskipun pada perkembangannya, SDI berubah menjadi Syarikat Islam yang bernuansa gerakan politik.
Dalam konteks budaya kemitraan, penelitian Afzalul Rahman yang dirilis dalam Economic Doctrines of Islam, koperasi tipe kemitraan modern Barat mirip dengan kemitraan Islam. Bahkan, telah dipraktikan oleh umat Islam hingga abad 18. Baik bentuk syirkah Islam dan syirkah Modern, sama dibentuk oleh para pihak atas kesepakatan mereka sendiri untuk mencari keuntungan secara proporsional dan mutual berdasarkan hukum negara.
Menurut Rahman, persyaratan kemitraan kedua tipe koperasi tersebut sama, kecuali pada praktik riba (sistem bunga). Koperasi syar’iah (syirkah Islam) terbebas sama sekali dari unsur itu. Kemitraan Inggris (dalam hal jenis mitra, hak dan kewajibannya, fungsi dan tugasnya terhadap pihak ketiga) yang yang tertuang dalam Peraturan Kemitraan Inggris tahun 1980, kurang lebihnya sama dengan yang dijabarkan prinsip syirkah dalam kitab fikih bermadzhab Hanafi ‘Al-Hidayah’.

Yang jadi soal sekarang adalah koperasi model mana yang sesuai bagi perekonomian Indonesia? Apakah koperasi yang di daasarkan pada nilai-nilai tradisional yang cenderung berpola koperasi sosial ataukah koperasi modern model Barat yang berbasis sistem pasar? Atau justru gabungan keduanya?

Tampaknya model campuran, meski tidak berlabel syari’ah, jika dalam operasionalnya berlandaskan nilai dan prinsip syari’ah, tentu lebih mendekati fitrah sunnatullah. Artinya, sesuai dengan kebutuhan, potensi, kondisi, dan norma agama serta terhindar dari ekstrimitas ekonomi dan kesalahan materialisme sosialis maupun kapitalis.

Ada 7 pantangan yang harus dihindari dalam bisnis. Dan ini harus dipegang sebagai pantangan moral bisnis (moral hazard). Pertama, maysir yaitu segala bentuk spekulasi judi (gambling) yang mematikan sektor riil dan tidak produktif. Kedua, asusila yaitu praktik usaha yang melanggar kesusilaan dan norma social. Ketiga, goror yaitu segala transaksi yang tidak transparan dan tidak jelas sehingga berpotensi merugikan salah satu pihak.
Keempat, haram yaitu objek transaksi dan proyek usaha yang diharamkan syariah. Kelima, riba yaitu segala bentuk distorsi mata uang menjadi komoditas dengan mengenakan tambahan (bunga) pada transaksi kredit atau pinjaman dan pertukaran/barter lebih antar barang ribawi sejenis. Pelarangan riba ini mendorong usaha yang berbasis kemitraan dan kenormalan bisnis, disamping menghindari praktik pemerasan, eksploitasi dan pendzaliman oleh pihak yang memiliki posisi tawar tinggi terhadap pihak yang berposisi tawar rendah. Keenam, ihtikar yaitu penimbunan dan monopoli barang dan jasa untuk tujuan permainan harga. Ketujuh, berbahaya yaitu segala bentuk transaksi dan usaha yang membahayakan individu maupun masyarakat serta bertentangan dengan maslahat dalam maqashid syari’ah.

Pemerintah dan swasta, meliputi individu maupun masyarakat, wajib mentransformasikan nilai-nilai syari’ah dalam nilai-nilai koperasi. Caranya? Mengadopsi 7 nilai syariah dalam bisnis. Pertama, shiddiq yang mencerminkan kejujuran, akurasi dan akuntabilitas. Kedua, istiqamah yang mencerminkan konsistensi, komitmen dan loyalitas.
Ketiga, tabligh yang mencerminkan transparansi, kontrol, edukatif, dan komunikatif. Keempat, amanah yang mencerminkan kepercayaan, integritas, reputasi, dan kredibelitas. Kelima, fathanah yang mencerminkan etos profesional, kompeten, kreatif, inovatif.
Keenam, ri’ayah yang mencerminkan semangat solidaritas, empati, kepedulian, awareness. Ketujuh, mas’uliyah yang mencerminkan responsibilitas.
Koperasi syari’ah sangat strategis dalam mengembangkan sumberdaya dan mendistribusikannya secara adil. Karena, mengeluarkan harta (asset) untuk diputar, diusahakan, dan diinvestasikan secara halal adalah kewajiban syariah. Uang dan harta bukan untuk ditimbun. membuat aset nganggur (idle) sama dengan memubadzirkan nikmat Allah dan tidak mensyukurinya.

Uang dibuat untuk dipergunakan. Berpindah dari tangan ke tangan sebagai alat tukar (medium of excange) dan pembayaran. Juga alat ekspansi dalam investasi. Jadi, semata-mata hanya alat. Tidak boleh diubah menjadi tujuan. Apalagi menjadi berhala yang disembah. “Merugikan hamba dinar, merugilah hamba dirham!” demikian sabda Rasulullah saw.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai koperasi –yang tampak dalam jatidirinya (Co-operative Identity) sebagaimana dirumuskan kongres International Co-operative Alliance (ICA) ke-100 di Manchester, Inggris, September 1995 dan disusun kembali Prof. Dr. Ian MacPherson berupa 7 nilai: menolong diri sendiri, swa tanggung jawab, demokrasi, persamaan, keadilan, kesetiakawanan dan kejujuran; dan 7 prinsip operasional, yaitu keanggotaan terbuka dan sukarela, pengendalian oleh anggota secara demokrasi, partisipasi ekonomi anggota, otonomi dan kemerdekaan, pendidikan, pelatihan, dan informasi, kerjasama antar koperasi, dan kepedulian terhadap lingkungan– secara umum selaras dan serasi dengan nilai-nilai syari’ah.

Namun, jika kegiatan usahanya tidak menghindari ketujuh pantangan bisnis syari’ah, koperasi dapat kehilangan identitas (jatidinya). Koperasi harus meninggalkan praktik riba berupa penggunaan skim bunga dalam kegiatan usahanya. Tidak menetapkan bunga dalam kegiatan simpan pinjamnya. Karena, riba bertentangan dengan spirit kemitraan, keadilan, dan kepedulian terhadap lingkungan. Sistem bunga tidak peduli dengan nasib debiturnya dan tidak adil dalam penetapan bunga atas pokok modal.

Syari’ah harus diterima dan diterapkan koperasi secara keseluruhan. Bukan sepotong-potong. Karena, penerapan yang sepotong-potong tidak menjamin teraktualisasikannya tujuan koperasi. (Al-Baqarah: 85). “Hai orang-orang yang beriman! Masuk Islamlah kamu dengan keseluruhan, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena setan itu adalah musuh yang nyata.” (Al-Baqarah: 208). “Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’du: 11)

Dengan teraktualisasikannya prinsip-prinsip syariah dalam pengelolaan ekonomi, koperasi bisa mewujudkan keadilan dan menyejahterakan bagi semua. Rahmatan lil ‘alamin.
Baca Selanjutnya »»